![]() |
Picture source : Google.com |
Berbicara Raja Ampat, bukan hanya Masyarakat Indonesia yang paham dengan betapa berharganya keberagaman hayati yang ada disana, bahkan jauh sebelum Masyarakat Indonesia mengetahuinya, dunia sudah terlebih tau betapa indahnya Kabupaten Raja Ampat. Karena sebelum sosial media merebak menyebarkan informasi tentang Raja Ampat, kalau kita sendiri berkunjung kesana, mayoritas wisatawan yang datang kesana bisa dikatakan 90% berasal dari berbagai negara, untuk pengunjung lokal sendiri dari Indonesia hanya sisanya saja. Saya sendiri alhamdulillah diberikan kesempatan untuk bisa menginjakan kaki di Negeri Mutiara Dari Timur tersebut pada tahun 2011, cerita lengkapnya bisa dibaca di artikel dengan judul Pulau Doom - Sorong dan Waisai - Raja Ampat.
Di mata dunia sendiri Raja Ampat terkenal sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia (bukan hanya di Indonesia), terutama di wilayah Segitiga Terumbu Karang. Kawasan ini kaya akan lebih dari 1.500 spesies ikan karang, 700 spesies moluska, dan 600 spesies terumbu karang, yang mencakup 75% dari seluruh spesies karang di dunia. Selain itu, Raja Ampat juga memiliki keanekaragaman hayati darat yang kaya, dengan 874 spesies tumbuhan, termasuk 9 spesies endemik, dan 114 spesies herpetofauna, termasuk 5 spesies endemik. Sehingga begitu kejam rasanya, ketika ada segelintir pejabat di negeri ini yang bisa dengan mudahnya menandatangani Ijin Explorasi di kabupaten tersebut.
Konsesi Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat dimiliki oleh PT Gag Nikel dengan luas 13.136 hektare, terdiri atas daratan 6.060 hektare dan lautan 7.076 hektare. Sedangkan luas daratan pulau Gag sendiri hanya 6.500 hektare, yang berarti luas konsesi PT Gag Nikel hampir mencakup seluruh pulau dan kawasan perairannya.
PT Gag Nikel adalah Perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya generasi VII yang ditandatangani Presiden Soeharto pada 19 Januari 1998. Awalnya, Perusahaan ini adalah Perusahaan gabungan antara BHP Billiton-Asia Pacific Nickel (75%), perusahaan tambang asal Australia, dan PT ANTAM (25%). Hingga akhirnya pada 2008, BHP Billiton mundur dari proyek ini dan PT ANTAM mengakuisisi 100% kepemilikan saham di Asia Pacific Nickel. Dengan ini, PT ANTAM menguasai PT Gag Nikel sepenuhnya, meskipun Asia Pacific Nickel masih tetap terdaftar di Australia.
PT Gag Nikel adalah salah satu dari 13 perusahaan tambang yang mendapatkan keistimewaan diperbolehkan melakukan aktivitas pertambangan terbuka di kawasan Hutan Lindung berdasarkan Keppres No. 41 tahun 2004. Keputusan Presiden yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati ini dikarenakan pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, melarang adanya aktivitas pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Pemerintah saat itu berdalih, pemberian dispensasi bagi 13 perusahaan tambang ini diberikan karena mereka sudah mengantongi kontrak karya sebelum terbitnya UU Kehutanan yang baru pada 1999.
Tak hanya melakukan aktivitas pertambangan di kawasan hutan lindung, aktivitas PT Gag Nikel ini juga dilakukan di wilayah pulau kecil. Yang mana, berdasarkan UU No. 7 tahun 2007 Jo. UU No. 1 tahun 2014, kawasan pulau kecil, yakni pulau dengan luas kurang dari 200.000 hektar, adalah kawasan yang dilarang bagi aktivitas pertambangan. Oleh karena itu dari masa Pemerintahan Soeharto hingga sampai ke Pemerintahan SBY, PT Gag Nikel tidak melakukan kegiatan apapun di Pulau Gag karena berbenturan dengan aturan lainnya.
Pemerintahan berganti PT Gag Nikel baru mendapatkan Persetujuan Kelayakan Usaha Pertambangan dari Kementerian ESDM pada 4 Agustus 2014 (Menteri ESDM dijabat oleh Sudirman Said). Selanjutnya pada 2015, berdasarkan Surat Keputusan BKPM No. 19/1/IPPKH/PMA/2015, PT Gag Nikel memperoleh Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk kegiatan operasi produksi nikel dan sarana penunjangnya, Kepala BKPM saat itu dijabat oleh Franky Sibarani transisi kepada Tom Lembong.
Kemudian PT Gag Nikel memperoleh Izin Operasi Produksi berdasarkan Surat Keputusan Nomor 430.K/30/DJB/2017 tertanggal 30 Desember 2017, Menteri ESDM pada saat itu dijabat oleh Ignasius Jonan. PT Gag Nikel melakukan kegiatan usaha pertambangan di Pulau Gag didasarkan dari hasil kajian di kawasan Pulau Gag memiliki cadangan nikel terbaik sebagai hasil pelapukan dari sebaran batuan ultrabasa yang tersingkap di Pulau Gag. Dari hasil kegiatan eksplorasi yang dilakukan sampai dengan 31 Desember 2021 didapati cadangan dengan kualitas saprolit memiliki kadar rata-rata Ni 1.91% sebesar 51.50 juta wmt. Sedangkan untuk limonit memiliki kadar rata-rata Ni 1.61% sebesar 14.81 juta wmt.
Pada 2018 PT Gag Nikel mulai melakukan ekploitasi dengan memproduksi bijih nikel saprolite dan limonite dengan jumlah produksi yang nyaris meningkat tiap tahunnya. Pada 2018, produksi bijih nikel saprolite dan limonite yang dihasilkan PT Gag Nikel sebesar 912.899 wmt. Kemudian di tahun 2019 produksinya 1.803.561 wmt, di tahun 2020 sebesar 1.124.151 wmt, dan di tahun 2021 produksinya 3.000.000 wmt, sedangkan pada 2022 PT Gag Nikel berhasil mencapai target produksi 3.000.000 wmt. Saat ini PT Gag sedang berencana untuk membangun fasilitas pengolahan nikel dengan teknologi Rotary Klin Electric Furnace (RKEF) yang berlokasi di Kawasan Ekonomi Khusus Sorong.
Isu Sosial Kemasyarakatan
Pengabaian Hak Ulayat masyarakat adat Suku Kawei
Dilansir dari Suarapapua.com, Suku Kawei, yang mendiami Kampung Selpelei, Distrik Waigeo Barat Daratan, Pulau Gag, sungguh ironis. Pasalnya, masyarakat adat Suku Kawei yang mempunyai Hak Ulayat adat atas lokasi tambang yang saat ini tengah beroperasi belum juga mendapatkan hak-hak mereka mulai dari hak pelepasan adat lokasi tambang yang saat ini tengah beroperasi melalui PT GAG Nikel. Masyarakat adat Suku Kawe, selaku pemilik Hak Ulayat pulau GAG, di Distrik Waigeo Barat Kepulauan, kabupaten Raja Ampat, selama ini merasa ditipu oleh pihak perusahaan tambang PT GAG Nikel yang saat ini tengah melakukan eksplorasi tambang nikel di wilayah tersebut. Sejak awal perusahaan tambang PT GAG Nikel beroperasi hingga saat ini sedang melakukan proses produksi tidak pernah berbicara secara khusus soal hak-hak Ulayat milik masyarakat adat Suku Kawe yang mempunyai hak atas wilayah Pulau GAG.
Pencemaran kawasan perairan Pulau Gag
Sejak beroperasi pada 2018, kawasan perairan di Pulau Gag kerap kali keruh dan berlumpur. Hal ini diduga berasal dari aktivitas pertambangan PT Gag Nikel, mulai dari pembangunan dermaga khusus tambang, hingga terbawanya sedimentasi dari aktivitas pembukaan kawasan hutan dan penambangan. Warna air laut di pesisir Pulau Gag keruh. Sedimen menutupi dasar laut, menempeli lamun dan menyelimuti karang. Aktivitas pertambangan nikel beroperasi siang malam di pulau seluas 6.060 hektar itu. Hal ini juga berakibat pada rusaknya kawasan terumbu karang di sekitar Pulau Gag. Rusaknya kawasan perairan Pulau Gag ini sangat kontras dengan citra Kabupaten Raja Ampat yang terkenal dengan keindahan alam dan pariwisatanya.
Masyarakat Adat tidak bisa bekerja di Perusahaan
Menurut Koordinator Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Domberai, Paul Vinsen Mayor, hingga 2022 hanya sekitar 1% orang asli papua yang bisa bekerja di PT Gag Nikel. Upaya DAP untuk mengusahakan keterlibatan orang asli papua untuk dapat bekerja di Perusahaan tambang ini sudah berjalan sejak 2017, namun hingga sast ini belum ada kejelasan soal kewajiban Perusahaan untuk melibatkan warga lokal dalam proyek tambang di Pulau Gag.
Sebuah Ironi Pembangunan Atas Nama 'Hilirisasi'
Berbicara tentang Raja Ampat sekarang, semua itu bisa dikatakan sebagai suatu Ironi Pembangunan. Sebuah keadaan di mana pembangunan yang diharapkan membawa kemajuan justru menimbulkan masalah dan dampak negatif yang tak terduga bahkan bisa menimbulkan kerusakan permanen, seringkali berbanding terbalik dengan tujuan awalnya. Pembangunan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan serta budaya masyarakat setempat dapat menyebabkan hilangnya kelestarian alam, identitas budaya dan tradisi. Karena seberapa besarpun nilai ekonomi yang dihasilkan dari ekploitasi Pulau Gag, tetap tidak akan mampu untuk dapat mengembalikan keadaan alam yang ada disana seperti sediakala.
Ironi pembangunan ini menunjukkan bahwa pembangunan yang baik tidak hanya tentang pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tentang keseimbangan dan keadilan sosial, serta perlindungan lingkungan. Pembangunan yang berkelanjutan harus memperhatikan aspek-aspek ini agar pembangunan benar-benar membawa kemajuan yang nyata dan positif bagi masyarakat, sehingga kelak anak cucu kita di masa depan masih bisa menikmati betapa eksotisnya Pulau Gag yang ada di Kabupaten Raja Ampat sana...
0 Comments :
Post a Comment